Yoyakarta: Kota yang Bergerak dan Ditinggalkan
Ada banyak hal yang menyebabkan hal tersebut. Yogyakarta sebagai kota pelajar sekaligus kota tujuan wisata mengalami dinamika yang cukup menarik. Dalam 2-3 tahun belakangan, jalanan menjadi padat-merayap. Aneka kendaraan pribadi dengan plat yang beragam bermunculan. Mungkin sangat kontras dengan Yogyakarta sebelum gempa bumi.
Tidak ada yang terjadi dalam seketika. Tapi sebagian dari kita mungkin tetap merasa ada yang aneh dan seperti tidak disadari. Apalagi bagi mereka yang dulu pernah tinggal di kota ini.
Sebuah peristiwa besar yang terjadi akan memberikan dampak bagi masyarakat. Dari sebuah momen sederhana, kadangkala akan menghasilkan perubahan sosial yang sangat luar biasa. Yogyakarta, pada Mei 2006 yang lalu mengalami sebuah peristiwa besar yakni gempa bumi. Perubahan bergerak dari sini. Tak hanya Yogyakarta, Aceh yang mengalami peristiwa serupa saat ini mengalami perubahan sosial yang cukup pesat dan (nyaris) tak terkendali. Mungkin akan demikian yang dialami Padang dan kota lainnya sebagai resiko pembangunan.
Dampak yang sangat terasa di Yogyakarta saat ini adalah menghilangnya dan padatnya jalanan oleh kendaraan pribadi. Pasca gempa, sebagai usaha rekonsiliasi, kredit-kredit motor bermunculan dengan alasan membantu masyarakat merupakan salah satu alasan terjadinya mobilisasi besar-besaran dalam gaya hidup masyarakat.
Kota yang terbentuk
Kita bisa menyebut munculnya Ambarukmo Plaza sebagai peristiwa pertama yang membuat Jalan Solo dan Adisucipto mengalami macet serta munculnya tradisi shopping ke mall. Sebelum ini, sudah ada beberapa mall di Yogya, tapi tidak terlalu membentuk sebuah karakter khas bagi masyarakat. Kalau pun ada, mungkin hanya bagi kalangan anak muda.
Contoh lain adalah warung kopi Blandongan yang merupakan representasi dari tradisi masyarakat kita, yakni kumpul-kumpul. Jika dulu ada angkringan yang merupakan ruang lain komunikasi antar warga dan terutama mahasiswa, selain di kampus tentu saja, saat ini, tradisi itu berpindah ke warung-warung kopi. Blandongan sebagai gerbang pertama tradisi ngopi-ngopi tersebut kemudian membuka peluang baru dalam berbisnis. Ruang diskusi pun berpindah ke warung-warung kopi yang saat ini tersebar di berbagai tempat. Tradisi baru telah terbentuk, sebuah ruang baru telah terbuka, peluang usaha sedang berkembang. Hal ini tentu tidak pula bisa dilepaskan dari peran kampus, terutama universitas negeri, yang menutup akses kumpul-kumpul mahasiswa yang biasanya dilakukan di malam hari.
Seperti dikomando, ruang baru ini menawarkan sensasi baru. Setelah Blandongan muncul warung kopi lain seperti Mato dan kopi shop yang terasa lebih ‘berkelas’. Lihatlah di sepanjang jalan Nologaten dan daerah di sekitarnya hingga Selokan Mataram bertebaran warung kopi dan cafĂ©. Terlepas dari kekhasan masing-masing, ruang-ruang tersebut telah membentuk sebuah tradisi baru anak muda, dan terutama mahasiswa, yakni tradisi oral. Tradisi membaca, secara tidak langsung mulai ditinggalkan. Sebuah komunitas telah terbentuk, sebuah ruas jalan telah resmi menyandang identitas baru.
Ruang-ruang yang dulu terabaikan saat ini pun dimanfaatkan, boleh jadi oleh pelaku bisnis maupun masyarakat sendiri. Lihatlah di malam hari Monumen Tugu, Kawasan Nol Kilometer dan Kantor Pos Besar, Kali Code, jembatan-jembatan di sepanjang kali code, kita akan melihat bahwa ruang publik tidak lagi sebatas Malioboro dan Jalan Mataram. Atau jika kita mau melongkok daerah Timoho, akan terlihat pergerakan sebuah tempat sedang dan akan terus berlangsung.
Kawasan yang mengalami perubahan yang cukup ideal mungkin adalah sepanjang Jalan Afandi atau Jalan Gejayan. Di wilayah ini, tawaran konsumsi lebih lengkap dan terlihat sangat mapan. Pada akhirnya, harapan final perkembangan sebuah kawasan mungkin bisa berkaca pada tempat ini. Karena jika timpang, tempat-tempat yang saat ini ramai (terutama) oleh warung kopi, kelak akan mengalami ‘kutukan’ kota yang ditinggalkan.
Tradisi baru juga terlihat dengan banyaknya lapangan futsal yang tersebar di berbagai kawasan. Bisnis warung internet yang buka 24 jam juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Warnet pun mengalami perkembangan sebagai tempat menginap, lengkap pula dnegan beragam fasilitas dan ruang yang sangat privasi dan kamar VIP.
Kota yang ditinggalkan
Marilah kita melihat jalan Parangtritis yang dulu memiliki kampus STIEKER. Kita bisa merasakan aura lengang di sepanjang kawasan ini pasca dibongkarnya kampus tersebut. Wilayah ini telah menjadi daerah yang ditinggalkan.
Atau jika kita lebih ke selatan lagi, kawasan Kampus ISI seperti tidak mengalami dinamika apa pun dibandingkan Yogyakarta atau Sleman. Hal itu hampir sama bisa dirasakan di Kotagede yang statusnya tetap saja sebagai sebuah kota lama dan sekaligus kota yang ditinggalkan. Begitu pula dengan kawasan Bundaran UGM yang dulu juga merupakan sentral dan tempat kumpul-kumpul mahasiswa, kini kian sepi dan terabaikan. Ini juga merembas di sepanjang jalan C. Simanjuntak dan Cik Ditiro dan Terban serta kawasan Shopping yang masih bertahan dengan tersengal-sengal. Hal serupa kita bisa rasakan di sepanjang jalan Glagahsari dan Jalan Kusumanegara dan merembas hingga jalan Pramuka. Apalagi jika kita melewati Kota Baru, Lempuyangan dan sekitar kampus UKDW.
Selain itu, sadar atau tidak kita akan kesulitan menemukan angkringan sebagai ikon khas belanja murah di hampir seluruh kawasan Yogyakarta dan daerah sekitar kampus. Warung kopi, Burjo, telah menggantikan posisi itu. Tradisi belanja yang dulu sangat sederhana (kita mungkin pernah akrab dengan Mirota Kampus) saat ini mengalami pergerakan yang sama. Hampir di setiap ruas jalan diisi minimarket 24 jam yang berebut pasar.
Demikianlah, sebuah kota sedang berbenah diri. Sebagaimana siklus alam, setiap ada hal baru, selalu ada yang ditinggalkan. Hal baru nyaris membunuh yang lama. Jika sudah begitu kita hanya menunggu dan berharap ada penataan lebih serius dari yang berkepentingan. Karena memang selayaknya ada penataan, terutama di ruas-ruas jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar