Datu Beru in Actione
Tikungan tajam. Jalan berlubang. Jurang yang terjal. Itulah pemandangan yang saya dapatkan ketika mobil penumpang L300 membawa saya ke tempat danau Laut Tawar berada. Semak-semak, pepohonan sawit, dan pinang turut menjadi perhatian. Tak luput juga para petani yang sedang membawa pulang hasil panen di dalam karung besar yang entah apa isinya. Hujan yang turun mengeluarkan udara dingin dan perlahan mulai memasuki pori-pori.
Dalam hati saya berujar, ternyata jalanan menuju ke kota yang katanya paling dingin di Aceh itu sangat rawan dan menjadi pemicu kecelakaan. Padahal kota yang akan saya tempuh adalah ibu kota kabupaten penghasil kopi Arabica yang konon katanya menjadi komoditas ekspor. Tapi kok? Ah, semoga saja pemerintah setempat segera mengambil kebijakan untuk membangun jalan yang rusak .
Selain kopi, kota yang bernama Takengon itu juga terkenal dengan hasil alamnya. Buah-buahan segar seperti alpokat, jeruk, tomat, terong belanda, dan aneka sayur-mayur membuat dataran tinggi ini semakin terkenal. Sudah lama saya ingin menginjakkan kaki ke tanah tempat berasalnya tarian Saman ini. Dan sekarang semua itu terwujud.
Kesan pertama yang kurang baik ternyata tidak berlanjut. Istilah kesan pertama begitu menggoda ternyata tak berlaku untuk saya kali ini. Ketidaknyamanan dalam perjalanan ternyata tergantikan dengan segarnya udara Takengon. Bukit barisan terhampar sepanjang mata memandang. Apalagi di belakang penginanapan tempat saya menginap. Sungguh indah di pandang mata. Datu Beru nama tempatnya. Entahlah, saya tak tahu apa artinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar