Selasa, 16 November 2010

kerajaan sriwijaya

Sriwijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Sriwijaya
Flag

Flag
600-an1100-an Flag
Lokasi Sriwijaya
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
Ibu kota Sriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
Bahasa Melayu Kuna, Sansekerta
Agama Buddha, Hindu
Pemerintahan Monarki
Maharaja
 - 683 Sri Jayanasa
 - 775 Dharanindra
 - 792 Samaratungga
 - 835 Balaputradewa
 - 988 Sri Culamanivarmadeva
Sejarah
 - Didirikan 600-an
 - Invasi Dharmasraya 1100-an
Mata uang Koin emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1509)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (1509-1945)
Era Portugis (1509-1602)
Era VOC (1602-1800)
Era Belanda (1800-1942)
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi (1945-1949)
Era Orde Lama (1950-1959)
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (1962-1965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru (1966-1998)
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi (1998-sekarang)
[Sunting]
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.[1][2] Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".[2] Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][2][4][5] Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[6][7] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.[8]
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[2] Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan)[2]. Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang[8], yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi. Sementara Moens sebelumnya berpendapat letak Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan catatan I Tsing,[9] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[10]

Daftar isi


[sunting] Historiografi

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.[11] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[12]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.[11]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[8]

Pembentukan dan pertumbuhan

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[13] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya, penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan.[2] Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]
Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina.[14] Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat.[2]

Budha Vajrayana

Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.

Relasi dengan kekuatan regional

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan[2]. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Kerajaan Melayu yang memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini, merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya akhirnya ditaklukkan pada abad ke-7. Kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan[15].
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.

[sunting] Masa keemasan

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Di tahun 902, Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan[16].
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Penurunan

Tahun 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, menaklukkan Kedah dan merampasnya dari Sriwijaya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan, kemudian berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu, selama beberapa dekade berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Chola I.[17] Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Akibat invasi tersebut, hegemoni Sriwijaya melemah, kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri, dan muncul kerajaan Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian mencaplok kawasan Semenanjung Malaya dan Sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.
Antara tahun 1079 - 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts'i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun 1088.[2]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[18] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Kamboja)[8][19]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, jadi dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya dan pada masa ini nama Sriwijaya sudah tidak disebut lagi. Hal ini dapat dikaitkan dengan Pamalayu atau Ekspedisi Pamalayu, dimana pada tahun 1275 kerajaan Singhasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, melakukan suatu ekspedisi dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu, kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya seperti yang tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Selanjutnya Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga tidak menyebutkan nama Sriwijaya lagi. Dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan telah muncul nama Palembang, disebutkan 'Arya Damar' sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343[20], Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman,[21] yang kemudian pada tahun 1347 memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dengan manuskrip yang terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa.[22] Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga telah terdapat kata-kata bumi palimbang[23].
Sementara Suma Oriental yang ditulis oleh Tomé Pires antara tahun 1513 dan 1515 hanya menyebutkan nama Palembang yang pada waktu itu telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa[24].

[sunting] Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.

[sunting] Pengaruh budaya

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara.

Pengaruh Islam

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha, juga ramai dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718 [25]. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah [16]. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.

[sunting] Warisan sejarah

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[26] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.

[sunting] Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][8]
Tahun↓ Nama Raja↓ Ibukota↓ Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa↓
671 Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya Shih-li-fo-shih
Catatan perjalanan I Tsing di tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
702 Sri Indravarman Che-li-to-le-pa-mo
Srivijaya Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
728 Rudra Vikraman Lieou-t'eng-wei-kong
Srivijaya Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok 728-742
743-760

Tidak ada berita pada periode ini
760 Maharaja Wisnu atau Dharmmatunggadewa
Srivijaya Prasasti Ligor A di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja


Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
775 Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
Jawa Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan
782 Samaragrawira atau
Rakai Warak
Jawa Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792 Samaratungga atau
Rakai Garung
Jawa Prasasti Karang Tengah tahun 824, 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur



Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
835 Balaputradewa Suwarnabhumi Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnabhumi Prasasti Nalanda tahun 860, India
861-959

Tidak ada berita pada periode ini
960 Sri Udayadityavarman Se-li-hou-ta-hia-li-tan
Srivijaya San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980 Hie-tche (Haji) Srivijaya San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 980 & 983
988 Sri Cudamanivarmadeva Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
Srivijaya San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003 990 Jawa menyerang Srivijaya, pembangunan candi untuk Kaisar China (cheng tien wan shou), pemberian anugrah desa oleh raja-raja I
1008 Sri Maravijayottungga Se-li-ma-la-pi
Srivijaya San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 1008, 1017
1025 Sangrama Vijayottunggavarman Srivijaya Kadaram
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan Prasasti Tanjore pada candi Rajaraja, Tanjore, India
1028

Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
1079

Utusan San-fo-ts'i dari Pa-lin-fong (Palembang) ke Tiongkok 1079 dan memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082

Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1182

Belum ada berita
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

Referensi

  1. ^ George Coedès, (1930), Les inscriptions malaises de Çrivijaya, BEFEO.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ Zain, Sabri Sejarah Melayu, Buddhist Empires.
  5. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  6. ^ J.G. de Casparis, (1975), Indonesian Paleography.
  7. ^ Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives.
  8. ^ a b c d e Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, PT. LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1.
  9. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  10. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  11. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. pp. 8-9. ISBN 0-300-10518-5. 
  12. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". di dalam F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. hlm. vol. I p. 149. 
  13. ^ Taylor. Indonesia: Peoples and Histories. hlm. hal. 29. 
  14. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. hlm. pages 77. 
  15. ^ Oliver W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca.
  16. ^ a b Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (16 November 1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Mizan. 
  17. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  18. ^ Friedrich Hirth and W.W.Rockhill, (1911), Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  19. ^ Drs. R. Soekmono, (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (edisi ke-2nd). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 60. 
  20. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  21. ^ C.C. Berg, (1985), Penulisan Sejarah Jawa. (terj.), Jakarta: Bhratara.
  22. ^ Kern J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  23. ^ Kozok U., (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  24. ^ Cortesão A., (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  25. ^ H. Zainal Abidin Ahmad (16 November 1979). Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Bulan Bintang. 
  26. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8. http://books.google.com/books?id=C-IZCcEuX30C&pg=PA9&dq=Srivijaya+source+of+Indonesia+pride&cd=6#v=onepage&q=Srivijaya%20source%20of%20Indonesia%20pride&f=false/Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. 

Pranala luar

[tampilkan]
Sejarah kekaisaran di dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar