Suatu Siang Bersama Down Syndrome
Dua karung besar. Kayu panjang. Suatu siang di perempatan jalan.
Awalnya saya mengira dua karung plastik besar yang isinya penuh dengan botol bekas, plastik, dan tempat cat, yang sudah tidak layak pakai itu adalah sampah. Entah siapa yang membuangnya di perempatan jalan masuk ke rumahku. Terbesit niat untuk memindahkan ke tempat sampah, dari pada di jalan pasti tak elok dipandang.
Belum pun niat itu saya jalankan, seorang bocah yang memakai baju salah satu parpol dan telah kotor karena lumpur datang dan mengambil karung besar itu. Dipikulnya karung itu dengan kayu yang memang terletang di tempat yang sama. Ketika melihatku bocah itu tersenyum. Kacamata hitamnya dibuka dan memperlihatkan deretan gigi yang kuning. Lalu ia pun pergi sambil melafazkan “Ngeng, ngeng, ngeng, ngeng.”
“Dia meniru penjual roti yang sering lewat jalan ini setiap pagi,” ungkap Rasyidah, tetangga saya yang rumahnya langsung berhadapan dengan jalan.Ada-ada saja tingkah bocah yang dipanggil Cut Mad itu. Karung besar dan kayu ia umpamakan tempat menaruh roti yang dipikul penjual. Lalu suara “ngeng, ngeng” itu menjadi pengganti terompet yang kerap dibunyikan ketika sang penjual roti melewati perumahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar